Universitas. Dari sudut mana pun memandangnya, kita
tak bisa mengalihkan pandangan pada gedung-gedung yang besar itu. “Jika orang itu
berpendidikan tinggi, maka tinggi pula pengetahuannya, status sosialnya, juga
akhlaknya”. Ungkapan seperti itu, hanya soal dari sudut mana kita memandangnya.
Tapi, gedung-gedung itu tetaplah besar, tinggi, kokoh. Tak bergeming diterpa
badai, tak keropos dimakan waktu.
Apa sebenarnya arti dari besarnya gedung itu? Besarnya
sebuah peradaban? Janji akan kesejahteraan? Terciptanya kewibawaan, moral,
etika, akhlak yang mulia?
Di zaman –yang orang sering menyebutnya zaman
kekinian– ini, pertanyaan-pertanyaan seperti itu mungkin tak relevan untuk
ditanyakan. Bahkan pertanyaan seperti itu sering dianggap sebagai pembangkangan.
Terhadap nilai-nilai yang dipegang sebuah universitas, terhadap cita-cita
utopisnya. Terlepas dari anggapan pembangkangan itu, kita tidak bertanya.
Mungkin karena jawabannya sudah ada –sehingga tak perlu dipertanyakan– atau
kita saja yang tidak terbiasa dengan pertanyaan seperti itu.
Namun, dulu sekali, di tahun 1993, ada seorang
sastrawan yang menganggap pertanyaan seperti itu penting untuk ditanyakan.
Soalnya, begitu menyedihkan ketika kita melihat universitas sebagai tanda dari
kebesaran akan kekuasaan, bukan sebuah tanda dari semangat untuk membicarakan
ilmu pengetahuan. “Itu sebabnya universitas-universitas yang didirikan negara
di sini menyandang bukan nama Empu Kanwa atau Hamzah Fansuri –yakni pujngga dan
pemikir– melainkan nama Gajah Mada atau Pajajaran atau Syah Kuala atau Sultan
Hasanuddin,” tulisnya dalam esai yang berjudul universitas. Bagi si sastrawan, pertanyaan-pertanyaan itu memang
harus dipertanyakan kembali. Karena universitas yang mencoba melahirkan
kewibawaan itu, bisa saja melahirkan hardik, teror, intoleransi, dan repersi.
Sastrawan itu tidak sedang meramal. Hardik, teror,
intoleransi, dan represi itu memang terjadi di dulu, juga kini. Dulu, dalam
esai si sastrawan, pernah tersiar kabar bahwa ada murid (sastrawan itu menyebutnya
cendekiawan) yang dihambat untuk ‘berbicara’. Dari kabar yang masih perlu
diusut lebih jauh itu, si sastrwaan yakin jika kebenaran tetap harus
diungkapkan. Tentunya dengan pertanyaan-pertanyaan: “Bisakah birokrasi
perkuliahan memungkinkan seorang mahasiswa menjelajah ilmu seluas-luasnya
hingga melintasi batas-batas fakultas dan jurusan? Bisakah para pengajar
membuktikan bahwa mereka bukan pemamah-biak teks-teks using, bukan pembeo
pendapat orang lain, dan bahkan bukan bukan pemplagiat karya-karya tulis
mahasiswa mereka sendiri?” Jika ada hal yang tidak kita mengerti dari
pertanyaan-pertanyaan itu, mungkin bisa ditebak kalau itulah yang namanya
keresahan. Ya, kita tidak memiliki keresahan –atau ketakutan– yang sama.
Mungkin karena itu juga, pertanyaan seperti itu tak relevan untuk kita jawab.
Tapi, coba lihatlah di sekeliling gedung-gedung besar
itu, atau agak jauh di luarnya. Bisa saja, secara kebetulan anda menemukan
suara-suara orang yang saling ingin memenangkan argumennya. Biasanya ada dua
pihak, yang satu ingin mengungkap kebenaran, yang satunya lagi ingin menjaga
keamanan –karena orang-orang akan tidak bertindak aman jika kebenaran itu
diungkap. Saya tidak sedang bicara sebauah perumpamaan. Saya cuma melanjutkan
apa yang dibicarakan Goenawan Mohamad, si sastrawan itu.
Di hari-hari ini, hardik, teror, intoleransi, dan
repersi memang terjadi. Hardik. Tiba-tiba orang-rang datang dengan nada tinggi
untuk membubarkan kegiatan diskusi publik. Terror. Tiba-tiba ada orang-orang
berjaket hitam –yang sering disebut sebagai Intel– yang memprovokasi birokrat
universitas untuk membatalkan kegiatan diskusi publik di dalam gedung besar
itu. Toleransi dianggap berbahaya, karena orang bisa terlalu toleran terhadap
perbedaan, bahkan kejahatan –entah itu terbukti atau tidak. Represi bisa kasar
dan halus. Yang halus seperti menasihati supaya anak-anak yang melakukan
kegiatan diskusi publik tidak terpengaruhi oleh kepentingan orang-orang –yang
mencoba mengungkap kebenaran. Maksudnya, jika anak itu masih ingin lakukan kegiatan
diskusi publik, masa depannya bisa terancam.
Saya memang bertele-tele di sini. Saya tidak langsung
bicara kalau yang saya omongkan itu
tentang pembubaran kegiatan diskusi dengan tema Marxisme. Jika memang kita memiliki keresahan yang tak sama, setidaknya
kita tahu, bahwa pembubaran secara paksa dengan alasan yang tidak jelas itu
adalah hal yang keliru.
Ini tak hanya terjadi di antara orang-orang yang
sering berbicara tentang kebenaran, kebebasan, kesetaraan, keadilan pun marxisme. Dalam sebuah konser seni saja
misalnya, hal serupa bisa terjadi. Birokrat universitas bisa saja –dianggap
wajar dan baik-baik saja ketika– menggusur para mahasiswa yang akan
melaksanakan konser seni di gedung C, demi acara-acara keagamaan. Dengan
tiba-tiba dan melanggar administrasi yang disepakati di awal, para mahasiswa
harus manut dan pindah ke gedung
lain. Setidak layak apapun gedung itu.
Memang penggusuran ini tak sama dengan pembubaran yang
ada hardik, teror, intoleransi, dan repersinya itu. Tapi antara pembubaran dan
penggusuran, ada satu hal yang sama di sana. Kesewenang-wenangan.
Kesewenang-wenangan memang memilukan. Jika universitas
mencoba melahirkan akhlak yang mulia, sementara kesewenang-wenangan itu
diamini, bukankah sebenarnya ada yang runtuh di sana? Gedung-gedung besar itu
dibangun dengan sebuah prinsip bahwa kemajuan harus mengutamakan pertumbuhan
den kestabilan. Apa-apa yang menghambatnya untuk tumbuh dan berpotensi
mengganggu kestabilan –seperti kebenaran, keadilan dan kebebasan berbicara–
haruslah dipinggirkan.
Mansour Fakih pernah menulis tentang sebuah keruntuhan
dari pembangunan. Dalam pandangannya, ia melihat ada janji dan harapan kebaikan
bagi umat manusia pada
pembangunan
–seperti gedung-gedung besar di
universitas itu. Dalam
buku Runtuhnya Teori Pembangunan dan
Globalisasi, pembangunan
seakan-akan menjadi
keharusan sejarah manusia di masa depan. Tapi dalam pembangunan yang namanya janji, harapan
dan keharusan itu tidak datang sendirian. Ada yang lain, yang berjalan di jalur
yang sama. Itu bisa disebut: kecemasan, ketimpangan, ketidakadilan, pula
kesewenang-wenangan.
Pendeknya, Mansour Fakih tak melihat pembangunan
sebagai batu, beton, atau semen yang ditumpuk, melainkan salah satu dari
beragam cara untuk mencapai perubahan yang lebih baik. Sehingga –dari definisi
untuk mencapai perubahan yang baik itu– terciptalah pandangan: cara untuk maju
tanpa mempertanyakan mendiskusikan kebenarannya, adalah cara yang paling
relevan. Dan memprioritaskan hal yang meningkatkan citra di pasaran –seperti
acara-acara keagamaan– lebih penting daripada remehnya sebuah konser seni.
Tapi, apakah untuk melihat keruntuhan itu kita harus
–dengan serius– membaca bukunya Mansour Fakih? Arahnya memang tidak melulu ke
situ, walaupun itu sangat perlu. Namun, jika kita tahu bahwa kesewenang-wenangan
adalah hal yang keliru –dan kita tidak ingin terus-terusan mengalaminya–
bukankah kita harus berani melawan, menagih, atau paling tidak dengan sekedar
bertanya? Jika tidak punya keberanian, sepertinya ada yang runtuh juga di dalam
jiwa kita –ketika kita hanya memilih untuk diam.
Dua tahun yang lalu, Goenawan Mohamad menulis lagi
esai yang judulnya universitas. Kali ini, Goenawan Mohamad mengutip Kardinal Newman. Bekas rohaniwan yang menjadi Rektor Catholic University of Ireland: “Kardinal
Newman menyatakan bahwa baginya lebih baik sebuah universitas yang tak
mengajarkan apa-apa ketimbang sebuah universitas yang menuntut para anggotanya
agar kenal dengan setiap ilmu yang ada di bawah matahari. Artinya si mahasiswa
harus bisa menggeluti pengetahuan-pengetahuan yang mencerdaskan dan membuka
pikiran, tapi tak berguna. Ia harus jadi seorang gentleman yang tak didera nafsu mendapat manfaat dari tiap
geraknya.”
Sepertinya
Goenawan Mohamad ingin menyampaikan kalau mahasiswa harus bersuara memekik
keras-keras buat menuntut, dan bukan malah diam. Dan sayangnya, disisi lain
diam bisa diartikan sebagai tindakan untuk beradaptasi. Di zaman yang berubah
ini, sepertinya diam juga dibutuhkan untuk bertahan dari seleksi alam.
Tapi di
akhir esainya, Goenawan Mohamad mengutip penulis novel, Flaubert: “Aku selalu mencoba hidup di sebuah
menara gading, tapi gelombang tahi selalu menerpa dindingnya, mengancam akan
mengguyahkannya.” Tapi
bukan ‘gelombang
tahi’
yang mengguyahkan dinding
itu, sanggah Goenawan Mohamad, ada juga ‘gelombang tahi’ yang lain, bernama komersialisasi.
Universitas bukan lagi tempat pengetahuan berproses. Ia jadi pabrik tenaga yang
mau serba praktis. Ia jadi tempat orang berbelanja ‘keterampilan’.
Dan lagi-lagi, kita juga bisa diam terhadap keterampilan
yang sudah kita bayar lunas di muka.
Diam adalah emas. Begitulah kata pepatah yang tak
jelas dari mana asalnya. Di dalam gedung-gedug besar itu kita sering diam.
Ketika kita menerima ilmu-ilmu itu, jarang kita menemukan arah lain seperti
ketimpangan dan ketidakadilan di masyarakat, melainkan absen, tugas, dan indeks
prestasi kumulatif.
Ilmu ekonomi, contohnya. Kita tahu apa itu investasi,
tujuannya, bentuk-bentuknya dan rumus-rumus njimetnya.
Tapi entah mengapa, di dalam gedung itu, seperti ada perisai yang mencoba
menghalangi sesuatu untuk masuk. Berita-berita seperti ketimpangan sosial
akibat rakusnya para investor mencari uang di proyek pembangunan –seperti
reklamasi di bali– tak pernah menjadi pokok utama pembicaraan. Kita juga juga
tahu apa itu bisnis internasional, tapi yang menjadi tujuan pembahasannya bukan
dampak bisnis internasional seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi
di papua, melainkan bagaimana mencari keuntungan. Itu saja.
Kita juga diam, tanpa harus tahu bagaimana bertanya,
ketika ilmu itu berkata, “tugas seorang pengusaha adalah membuat manusia tidak
sadar akan siapa dirinya,” atau “kita harus berpegang kepada sistem ekonomi
syariah, karena sistem kapitalis dan sosialis adalah sistem yang ekstrem,” dan
perkataan lain yang tidak pernah kita pahami apa maksudnya. Toh, jarang juga
kita mendengar kalau ilmu pengetauan itu memang berpihak dan harus berpihak.
Soal runtuhnya universitas, pada akhir yang tak bisa
juga disebut sebagai akhir ini, juga soal dari sudut mana kita memandangnya, tak
ada kepastian kalau orang-orang nanti punya pandangan, keresahan, dan
keberanian yang sama untuk gedung-gedung besar itu. Memang bukan juga itu
tujuannya. Jika kesamaan adalah tujuannya, kan
apa bedanya kita dengan pembangunan yang dibicarakan Mansour Fakih itu?
Ada yang melihat bahwa keadaan saat ini baik-baik
saja, tak perlu mendaki-daki memikirkan dunia yang tak memikirkannya. Tapi ada
juga yang melihat bahwa keadaan ini adalah keadaan yang kacau, dan merubah kekacauan
itu menjadi kedamaian, adalah sebuah keniscayaan.
Di universitas, kita diwajibkan untuk mengabdi kepada
masyarakat yang sudah terlalu bosan untuk diabdi. Sementara yang di asingkan di
negerinya sendiri, entah mengapa semakin asing dari kewajiban pengabdian. Dan
di universitas, setiap tahun tercetak manusia yang menjadi manusia –yang
seharusnya mulia akhlaknya– tapi selalu sulit untuk keluar dari kemacetan
setelah acara wisuda, tanpa mengeluarkan makian-makian yang fasih. Sebuah
kegaduhan yang monoton.
Di luar pagar universitas itu, tak pernah ada yang
serius untuk menyelamatkan orang berbaju lusuh dari ketergantungan mengadahkan
tangannya. Tak ada yang mencegahnya untuk duduk seharian menunggu recehan
muncul dari ketiadaan.
Orang berbaju lusuh itu juga tidak tahu, bahwa orang
yang tidak mampu selalu dicurigai ketidakmampuannya, saat mereka ingin dapat
beasiswa pendidikan di universitas itu.
Komentar
Posting Komentar