Hanya
di detik-detik ini, pagi memenangkan jalannya. Di saat sepi ini, tak ada bising
kendaraan yang mengganggu pemandangan, tak ada gas beracun yang menyelinap di
sudut yang nyaman, tak ada ada makian yang hampir tak berhenti. Lampu lalu
lintas juga terlihat mempesona, hanya di detik-detik ini.
Sudah
terlampau lama aku tak menikmati suasana di detik-detik ini, dan mungkin ini
yang terakhir kalinya, karena aku akan pergi.
Tidak
ada yang begitu aku sesali dari kota yang ramai ini. Begitu juga dengan
kenangannya, tak ada satu pun yang membuatku rindu. Walaupun aku sudah
melakukan banyak hal, juga mencapai beberapa hal yang sebelumnya tak
kubayangkan bisa aku capai. Tetap saja aku tidak merasakan apa-apa. “Orang akan
kehilangan apa yang dia inginkan, ketika dia mendapatkan apa yang ia inginkan”
ah, sepertinya aku sedang melamun.
Pintu
ini, aku ingat betul ketika aku membukanya perlahan-lahan. Aku tidak bisa
membayangkan aku bisa membukanya lagi nanti, maka dari itu, aku mengunci pintu
ini.
Aku
ingin segera tidur saja, dan terbangun ketika sudah sampai. Tapi, sepertinya
itu mustahil, aku harus mengingatkan supir di setiap aku ingin berhenti. Ah,
sial.
“Terminal,
pak”.
“Terminal?”
“Iya”.Hanya sekarang aku memiliki waktu untuk tidur, sampai pemberhentian berikutnya.
Memejamkan
mata membuatku merasakan seolah-olah kendaraan ini berjalan lambat, dan memang
begitulah sebenarnya. Tidur tanpa bermimpi itu sulit. Itu seperti mencoba
melupakan semuanya, pengalaman ketika aku pernah hidup bersama orang-orang.
Hanya saja aku merasa, aku bisa melakukannya, dan aku sesekali berhasil, ketika
aku merasa sendiri. Entah itu di kesendirianku atau ketika bersama-sama.
Aku
tidak bisa tidur, suara-suara bising kendaraan mulai bermunculan. Ah, sial
lagi. Tak hanya bising kendaraan, orang-orang juga bermunculan, memenuhi ruang
kendaraan yang sempit ini. Perlahan-lahan, menunggu kepastian. Pak sopir, aku
tahu apa yang dia pikirkan.
Pagi,
kemenangannya sudah mulai dirampas, membosankan. Aku tidur.
“Kiri,
pak”.
“Kiri,
pak”.
Aku
bangun. Ternyata sudah hampir sampai. Aku tidur lagi.
“Mas,
mas, sudah sampai” aku bangun. Kaget.
“Oh,
iya, pak. Berapa?”
“Empat
ribu”.
“Ini...”.
Hari-hari
seperti ini tetaplah hari yang tidak aku sukai. Walaupun dengan alasan
meninggalkan hal itu, itu tidak menghilangkan kebosananku mengurus hal-hal yang
merepotkan. Tempat ini masih seperti biasanya. Tak ada kebiasaan yang damai,
tak ada tawa yang ramai. Meskipun orang-orangnya berkumpul dan saling menyapa,
tekanan itu tidak bisa hilang dari wajahnya. Kebetulan, bagaimana caranya
berjalan?
“Kota
Tiga Belas, Pak”.
“Empat
puluh ribu”.
“Ini...”
sial, naik lima ribu.
Aku
akan pergi, tak salah lagi. Tapi, semakin aku yakin, semakin ragu jugalah aku.
Awalnya aku ingin mencapai sesuatu, karena yang lain agak membosankan, dan
bergabunglah aku dengan mereka, mengikuti serangkaian hal yang mereka sebut
sebagai “proses”, melakukan apa yang mereka inginkan, hingga akhirnya aku harus
hidup bersama orang-orang lainnya yang tak ku kenal, dan tak ingin ku kenal. Awalnya
memang tidak apa-apa, tempat ini bisa menjadi pelampiasan dari tempat yang membosankan itu.
“Selamat
pagi, semuanya, mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Di sini, kami akan menghibur,
bapak ibu sekalian, dan semoga bapak ibu semua bisa selamat sampai tujuan. Lagu
pertama yang kami nyanyikan dari Silampukau, berbenah” Oh, mereka.
Intro
gitar mulai berbunyi.
Ujung
perjalanan, terkumpul banyak cerita,
Pemberhentian
susah diramalkan, jangan sampai terlewat,
Kawan
jangan terpencar, ingatlah untuk bersandar,
Pemberhentian
susah diramalkan, jangan sampai terlewat.....
Aku
juga pernah bernyanyi bersama mereka, senang sekali rasanya waktu itu. Mungkin
mereka akan menyesaliku, mungkin juga mereka akan berjalan seperti biasanya.
Aku tak mungkin kembali, tapi di saat ini aku juga membayangkan diriku yang
tiba-tiba berhenti, lalu kembali.
Ujung
perjalanan, kita lanjutkan cerita,
Pemberhentian
susah diramalkan, jangan sampai terlewat...
Ah,
sial sekali.
Sudah
saat berbenah, sampaikanlah doa,
Kuatkan
kaki kencang bertahan
Titipkan
semangat, pada yang telah lelah
Tegakkan
kaki yang telah terteguh
Setidaknya
aku sudah pernah berkata, untuk mengetahui sesuatu itu mengecewakan, terkadang
kau harus mencobanya. Aku memang tak yakin mereka akan memikirkan kata-kata
itu. Ya, mereka begitu mengecewakan, dan aku sudah memperingatkan sebelimnya
dan aku sudah mengatakan pada mereka. Ini wajar saja kan? Aku tidak terlalu
susah untuk pergi dari mereka, seperti aku pergi dari tempat-tempatku
sebelumnya yang membosankan. Seperti pergi, meninggalkan apa yang sebelumnya
sangat aku percaya. Begitulah aku, si pengkhianat.
Selamat
tinggal, semoga bahagia
“Dan,
lagu kami yang kedua adalah pulang, dari float”
Sekarang,
aku tahu aku akan ke mana. Ke tempat di mana kebosannan dalam hidupku di mulai,
tempat di mana aku pertama kali meninggalkannya. Aku yakin tempat itu masih
membosankan. Terakhir aku ke sana, tempat itu tambah membosankan dari
sebelumnya. Dan aku tahu apa yang ingin kulakukan, memotong semua jalur untuk
kembali, dan mencoba melawan kebosanan itu. Aku ingin tahu, apakah yang
kulakukan ini adalah hal yang menyenangkan? Apapun yang terjadi nanti tidaklah
penting. Aku hanya ingin tahu saja, itu sudah cukup. Untuk sekarang.
Sudah
lama aku mengasingkan diri tanpa sadar. Sekarang aku mencoba mengasingkan diri,
dengan sadar. Memang, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Hidup dengan
ketidakjelasan, itulah kehidupan.
Ketika
pagi, aku akan semakin sadar, kalau aku selalu mati. Aku mati, ditinggalkan
oleh kehidupan. Di balik pintu itu, terlihat orang-orang yang sudah lelah, tapi
mereka selalu hidup. Berangkat di pagi hari, pulang di kala sore. Kebiasaan
yang damai pun terlihat, bersama tawa-tawa yang damai. Tekanan di wajah mereka,
hampir mataku tak melihatnya.
Sementara
aku masih di tempat yang membosankan. Terus dan terus, sampai mati di pagi yang
berikutnya lagi. aku tahu, hanya omong kosong ketika aku ingin melepaskan kotak
ini dari wajahku. Aku juga tahu jika aku bisa melepaskannya.
Lalu
apa? Apa yang tak pernah kupahami? Kesadaran, nurani, keadilan, revolusi. Aku
tahu semuanya. Tapi mengapa? Mengapa aku masih di sini? Menyesal dan memulai
bangkit lagi, lalu menyesal lagi. apakah ini masih disebut kehidupan ketika aku
tidak bisa merubahnya? Layakkah aku hidup?
Bukan,
aku masih bisu, suaraku tak terdengar, suaraku juga tak didengarkan. Tidak ada
pilihan. Ada pilihan. Terjatuhlah lebih dalam. Sampai aku datang di tempat yang
aku inginkan.
“Karcis
baru, karcis baru....”
Resep Efektif Ramuan Herbal Untuk Mengatasi Insomnia
BalasHapusCara Efektif Menghilangkan Bopeng Bekas Jerawat Secara Alami
Obat Tradisional Pembersih Darah Kotor
Solusi Terbaik Mengobati Kelenjar Getah Bening Pada Leher
Tanaman Bernutrisi Untuk Iritasi Lambung Secara Alami