Kota ini selalu
berisik. Dari suara klakson kendaraan yang menjengkelkan hingga suara bom para
teroris gila yang tak ada matinya. Mengusik telingaku. Namun “yang mengusik”
itu terkadang berubah menjadi sebuah kebosanan. Orang-orang adu mulut di jalan,
gedung-gedung hancur tiba-tiba, teroris membawa pesan kematian, korban
meninggal, tim penyelamat datang. Mereka selalu memainkan peranannya. Tak ada
akhirnya. Tapi tak apa, ada satu hal yang bisa mengakhiri kebosanan ini.
Pastinya bukan mereka, para pahlawan yang repot-repot melindungi orang-orang
dengan alasan keadilan dan perdamaian. Tapi semuanya akan diakhiri oleh aku.
Mungkin lebih tepatnya aku sudah merencanakan akhir untuk kebosanan ini. Sebuah
akhir yang hanya aku yang menginginkannya. Aku, malaikat kematian.
“Diinn…diinn…diinn”
suara klakson mobil, motor, dan truk bersautan di tengah jalan selama hampir
tiga menit karena macet. “woii, apa kalian bodoh? Klakson kalian itu tidak
menyelesaikan masalah sama sekali” teriakku kepada manusia bodoh di
sekelilingku. Aku pasti gila jika terus-terusan berada di jalan ini. Motor ini
juga tidak berguna, bodi yang lebar membuatku tidak bisamelewati celah-celah
sempit dari mobil dan truk di depanku. Menjadi pengantar pesanan makanan adalah
sebuah mimpi buruk di kota yang berisik ini. Tapi mimpi buruk ini akan segera
berakhir. Hari ini. Pasti.
Ah, tiba-tiba
mobil dan truk di depanku mulai bergerak maju. Akhirnya selesai juga. aku juga
bergerak maju dengan santai, lalu aku melihat celah yang agak lebar untuk
menyalip dua kendaraan sial di depan. Aku tak menyia-nyiakannya, aku menancap
gas dan kusalip lewat sebelah kanan truk dan mobil itu. “hahaha…merdeka” ucapku
senang. Tiba-tiba “Brraakk…”
Aku membuka
mata, kulihat seorang pria berbadan besar berteriak padaku, pandanganku kabur,
aku mengantuk sekali. Saat aku membuka mata lagi, aku sudah terbaring di kasur,
tangan kananku di infus dan di perban, kepalaku juga di perban. “Ini, rumah
sakit,” aku pasti mengalami kecelakaan, tapi aku tidak mati, aku tidak mengulanginya
lagi, masih ada kesempatan untuk menyaksikannya, namun siapa yang memberi
kesempatan itu? siapapun itu hanya penyesalan yang akan menjadi akhir hidupnya.
Walaupun dia tidak memberiku kesempatan akhirnya juga tetap sama, tapi mungkin
sedikit membingungkan.
“Boomm…boom” ah,
pertunjukan dimulai, aku dapat melihatnya dari jendela di sebelah kiriku.
Mungkin ini pertunjukan yang terakhir dari sang pahlawan. Apakah aku harus
merasa kasihan? Tidak, tapi aku akan memberikan kasih saying terakhir. Oh, jangan-jangan
dia. Wah, tak kukira ceritanya akan berakhir seperti ini. Ini melebihi
harapanku.
Masyarakat,
teroris, pahlawan, tim penyelamat, mereka benar benar memainkan perannya dengan
baik, tanpa bosan sama sekali. Aku cukup memahami mereka, karena mereka hanya
hidup sekali, keadilan dan perdamaian adalah apa yang selalu mereka anggap
sebagai tujuan akhir.untuk siapapun masing masing dari mereka. Itulah kebenaran
mereka. Bukan kebenaranku.
Aku memikirkan
satu pertanyaan. apakah mereka pernah berpikir atau sekedar membayangkan apa
yang terjadi setelah keadilan dan perdamaian terwujud? Entah mereka pernah atau
tidak, itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa hanya kesia-siaan yang akan
mereka terima pada akhirnya. Tidak. Mungkin aku yang salah, mungkin yang benar
adalah kesia-siaan bagiku. Hanya aku. Karena itulah aku ingin membagikan
kesia-siaan yang aku terima. Membagikan kenyataan, membagikan kesedihan.
“Bukankah ini juga bagian dari persahabatan, teman lama?” tanyaku kepada pria
besar yang sedang tertunduk dihadapanku, sang pahlawan. Sang pahlawan yang
lemas, mungkin sekarat, wajahnyanya mengeluarkan keringat dingin, matanya memerah,
entah memancarkan amarah atau kesakitan atau keduanya. Tak hanya sang pahlawan,
tapi semua pemain yang bermain tanpa bosan juga lemas, tergeletak di jalan. Di
panggung pertunjukan mereka.
“Kau, kenapa
bisa…” aku langsung memotongnya, “kesini dan masih sehat-sehat saja? Tentu
karena aku makan sehat dan teratur, pikiranku dan kegiatan sehari-hariku juga
sehat, tidak seperti kalian yang setiap harinya melakukan hal yang membosankan.
“Aku tidak
mengerti ucapanmu, tapi apa maksudmu dengan teman lama?” sang pahlawan bertanya
dengan mengambil nafas yang berat untuk setiap dua kata.” Tentu kau tidak akan
mengerti, bodoh, karena kau dan aku itru berbeda. Baiklah, taka pa kau tidak
mengenaliku, itu sangat normal. Tapi sebelum mengatakan siapa aku, aku akan
bertanya dua hal padamu. Pertama, apa kau sadar apa yang terjadi dengan dirimu
sekarang? Tak usah kau jawab, aku tahu kau tidak tahu, walaupun kau tahu
sekalipun, aku juga tahu kau tidak akan sanggup mengatakannya dengan lancer,
kau kan sedang sekarat. Baiklah, jawabannya adalah,” aku mengangkat jri
telunjukku dan memejamkan mata dan membuka mata lagi, lalu melanjutkan, “kau
sedang terkena gas beracun mematikan, namanya adalah polonium, tepatnya isotop
polonium-210. Jika kau rajin membaca buku tentang kimia atau racun racun, kau
pasti tahu jika isotop polonium-210 memancarkan partikel alfa yang bisa merusak
materi genetik dalam tingkat sel,” celoteh panjangku yang belum selesai, sang
pahlawan juga terlihat pasrah, jadi aku lanjutkan.
“Aku tahu kau
akan bertanya, tapi bagaimana bisa polonium meracuni kami semua? Bukankah
polonium tidak akan bereaksi jika tidak masuk ke dalam tubuh kami? Lagi pula,
polonium adalah racun yang langka dari man kau mendapatkannya untuk meracuni
seluruh orang di kota ini?” aku bertutur laiknya seorang pahlawan yang gagah
dengan suara yang besar. “ Jawabannya adalah, aku meracuni kota ini jauh
sebelum kau lahir, semacam bom waktu dalam bentuk gas, tapi yang menjadi
waktunya adalah aku, sebenarnya aku bisa mengaktifkan bomnya kapan saja. Lalu
kenapa aku bisa mendapatkan polonium dalam jumlah banyak, itu karena aku
mengumpulkannya dari kehidupanku yang sebelumnya.” Kata kataku membuat sang
pahlawan menunjukan wajah kebingungannya.
“Tidak mungkin,
kau, dokter.” Sang pahlawan sepertinya mempunyai kesimpulan yang tidak bisa ia
terima.
“Sudah lama
tidak bertemu, belalang kecil, kau sudah besar sekarang, tidak sia-sia aku
menyelamatkanmu dulu, kau bebar benar menjadi pahlawan,” ucapku dengan
seringai, “ sekarang kau tidak perlu capek capek melompat-lompat lagi, tidurlah untuk selamanya.” Ucapan salam
jumpaku dan salam perpisahanku bersamaan, sebagai pengantar tidurnya.
Hah, padahal aku
belum menanyakan pertanyaan yang kedua. Mungkin jawabannya tidak akan memuaskan
jika kau tidak mengalami apa yang aku alami. Andai kau bisa membayangkan
bagaimana rasanya terlahir dengan membawa seluruh ingatan dan kesakitan
kehidupanmu sebelumnya. Keabadian, akan membosankan jika kau tidsak menemukan
permainan yang baru. Keadilan dan perdamaian, dulu aku juga pernah
mewujudkannya, awalnya aku mengira itu adalah sebuah akhir yang bahagia. Tapi
betapa terkejutnya diriku, mungkin juga dirimu, orang-orang di kotaku mulai
bosan dengan keadilan dan perdamaian, mereka memulai perang lagi. Semuanya
terasa tak masuk akal. Tentu aku merasakan ketidk masuk akalan itu ketika aku
terlahir lagi untuk pertama kalinya.
“Reinkarnasi.
Mungkin Tuhan menganugerahiku takdir ini untuk menemaninya bermain dalam dunia
ciptaannya. Ah, sudahlah, aku terlalu terbawa perasaan.” Kutodongkan pistol ke
kepalaku, aku menemukan pistol itu di jalan. “Sang dewa kematian akan memulai
permainan yang baru.” Doorr.
Komentar
Posting Komentar